Pupuh dan Sejarahnya Dalam Budaya Sunda

Eka Awaludin

Jumat, Desember 27, 2024

Pupuh merupakan bagian dari tradisi lisan masyarakat Sunda yang sudah ada sejak zaman dahulu. Pupuh pertama kali berkembang sebagai bentuk ekspresi seni yang menggabungkan puisi, musik, dan nyanyian. Dalam budaya Sunda, pupuh sering digunakan dalam cerita rakyat, ritual keagamaan, dan seni pertunjukan, seperti wayang golek atau mamaos (nyanyian tradisional).

Pupuh juga menjadi alat komunikasi masyarakat agraris pada masa itu, digunakan untuk menyampaikan pesan moral, keindahan alam, atau harapan terhadap kehidupan.

Sejarah Pupuh

Pupuh adalah salah satu bentuk sastra tradisional yang berkembang di tanah Sunda, tetapi akar dan pengaruhnya memiliki jejak sejarah panjang yang melibatkan berbagai peradaban dan tradisi yang pernah ada di Nusantara. Berikut adalah tahapan sejarah masuknya dan berkembangnya pupuh di tanah Sunda.

Masa Pra-Hindu-Buddha

Pada masa sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha, masyarakat Sunda sudah memiliki tradisi lisan berupa nyanyian dan syair sederhana. Tradisi ini digunakan untuk menceritakan kisah leluhur, mitos, legenda dan sebagai media ritual, hiburan, dan sarana pengajaran kepada generasi muda. Syair-syair sederhana ini belum memiliki pola seperti pupuh modern.

Pengaruh Hindu-Buddha (Abad ke-5 hingga ke-15 M)

Masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke Nusantara membawa perkembangan besar dalam seni sastra dan budaya lokal, termasuk di tanah Sunda. Pada masa ini Sastra Jawa Kuna, seperti kakawin, memperkenalkan pola puisi dengan aturan khusus, seperti jumlah suku kata dan rima. Masyarakat Sunda mulai mengadaptasi pola-pola kakawin menjadi bentuk baru yang lebih sesuai dengan bahasa dan budaya lokal, yang kemudian menjadi cikal bakal pupuh. Kemudian, pupuh mulai digunakan dalam karya sastra kerajaan Sunda, seperti dalam Carita Parahyangan dan Sanghyang Siksa Kandang Karesian, untuk menyampaikan ajaran moral, filosofi, dan nilai spiritual.

Masa Kerajaan Sunda (Abad ke-7 hingga ke-16 M)

Selama masa kejayaan Kerajaan Sunda (Tarumanagara hingga Pajajaran), pupuh berkembang pesat sebagai salah satu bentuk sastra resmi di istana. Pupuh digunakan untuk mencatat sejarah, menyampaikan ajaran moral kepada bangsawan, dan sebagai hiburan dalam acara kerajaan. Seni mamaos (nyanyian Sunda tradisional) mulai berkembang, di mana pupuh menjadi bagian utama yang dinyanyikan dengan iringan alat musik tradisional seperti kecapi.

Pengaruh Islam (Abad ke-15 hingga ke-18 M)

Masuknya Islam ke tanah Sunda membawa perubahan besar dalam pola seni dan sastra. Pupuh mulai mengadopsi tema-tema keislaman, seperti nilai-nilai ketauhidan, akhlak, dan kisah nabi. Pupuh menjadi media dakwah yang efektif untuk menyebarkan ajaran Islam. Syair-syair pupuh sering digunakan dalam pengajian atau acara keagamaan. Pada masa ini, seni pertunjukan berbasis pupuh seperti beluk dan pantun Sunda menjadi populer di kalangan masyarakat, menggabungkan tradisi lisan dengan nilai-nilai keislaman.

Masa Kolonial Belanda (Abad ke-19 hingga Awal Abad ke-20)

Pada masa kolonial, pupuh tetap eksis meskipun mengalami beberapa tantangan akibat modernisasi dan pengaruh budaya Barat. Para peneliti kolonial mulai mendokumentasikan tradisi lisan Sunda, termasuk pupuh, sehingga banyak naskah pupuh yang berhasil diselamatkan. Pupuh diajarkan di pesantren-pesantren tradisional sebagai bagian dari pembelajaran sastra dan agama.

Masa Kemerdekaan hingga Kini (Abad ke-20 hingga Sekarang)

Setelah Indonesia merdeka, pupuh mulai mengalami kebangkitan sebagai bagian dari identitas budaya Sunda. Pupuh diajarkan di sekolah-sekolah di Jawa Barat sebagai bagian dari pelajaran bahasa dan sastra Sunda. Pupuh menjadi bagian penting dalam seni pertunjukan tradisional, seperti kacapi suling dan tembang Sunda. Dalam era modern, pupuh mulai diadaptasi ke media digital dan sering dipadukan dengan musik kontemporer untuk menarik minat generasi muda.

Jenis-Jenis Pupuh dan Penjelasannya

Dalam sastra Sunda, terdapat 17 jenis pupuh yang masing-masing memiliki aturan khusus mengenai guru wilangan (jumlah suku kata) dan guru lagu (vokal akhir). Ke 17 Pupuh tersebut adalah Pupuh Kinanti, Pupuh Asmarandana, Pupuh Dangdanggula, Pupuh Sinom, Pupuh Durma, Pupuh Gambuh, Pupuh Guruminda, Pupuh Jurudemung, Pupuh Ladrang, Pupuh Lugina, Pupuh Magatru, Pupuh Maskumambang, Pupuh Mijil, Pupuh Pangkur, Pupuh Pucung, Pupuh Balakbak dan Pupuh Wirangrong. Berikut adalah beberapa pupuh utama beserta penjelasan dan contohnya.

Pupuh Kinanti

Ciri khas Pupuh Kinanti adalah bernuansa lembut dan penuh kasih. Mempunyai makna yang menggambarkan perasaan cinta, kasih sayang, dan kerinduan. Dalam penggunaannya sering dinyanyikan untuk menenangkan atau menidurkan anak.

Budak leutik bisa ngapung,
Babakuna tengah peuting,
Ngalayang kakalayangan,
Neangan nu amis-amis,
Sarupaning bungbuahan,
Naon baé nu kapanggih.

Ari beurang ngagarantung,
Dina dahan-dahan kai,
Disada kokoréakan,
Cing coba ku anjeun pikir,
Nu kitu naon ngaranna,
Pinter mun bisa kapanggih.

Pupuh Asmarandana

Ciri khas Pupuh Asmarandana adalah berirama romantis. Mempunyai makna yang menceritakan kisah cinta atau asmara. Dalam penggunaannya banyak digunakan dalam cerita rakyat yang bertema cinta.

Reupna wengi nu suni,
Ngalangkang bayang diri,
Ngan anjeun nu dipilari,
Di antara hate nu sepi,
Asa teu kiat nyalira,
Hayang geura patepang deui,
Ngahiji dina rasa.

Pupuh Dangdanggula

Ciri khas Pupuh Dangdanggula adalah ceria dan optimis. Mempunyai makna yang melambangkan kebahagiaan dan keindahan kehidupan. Dalam penggunaannya sering dinyanyikan dalam acara-acara penuh syukur.

Hirup kudu diutamakeun,
Di dunya kedah wirang wawanen,
Sing inget ka wanci peuting,
Nyaah ka sasama sapapada,
Bagja bakal datang,
Upama nyieun kahadéan,
Sapuk jeung parentah,
Kasabaran kudu aya,
Eling solat saparantosna,
Sugema hirup salawasna.

Pupuh Sinom

Ciri khas Pupuh Sinom adalah dinamis dan penuh semangat. Mempunyai makna yang menggambarkan masa muda dan harapan untuk masa depan. Dalam penggunaannya cocok untuk tema pendidikan dan motivasi.

Sing inget kana kawajiban,
Nuturkeun papagon agung,
Pangersa Gusti dipigusti,
Sing tulus dina kahadean,
Hade budi tur welas asih,
Hirup kudu jadi conto,
Sing wiréh ngajaga iman,
Sing nyaah ka sasama,
Bagja hirup kalayan rahayu.

Pupuh Durma

Ciri khas Pupuh Durma adalah kuat dan heroik. Mempunyai makna yang melambangkan keberanian dan perjuangan. Dalam penggunaannya sering digunakan dalam kisah perang atau kepahlawanan.

Ngajugjug hirup anu mulya,
Ngahontal kahayang anu hadé,
Ulah sieun lamun susah,
Sing kukuh ngalawan kasusah,
Nusa bangsa kudu dijaga,
Teguh pengkuh dina kayakinan,
Nonoman kudu boga tekad,
Ngadegkeun lemah cai sorangan.

Fungsi Pupuh dalam Kehidupan Masyarakat Sunda

Sebagai Media Pendidikan

Pupuh digunakan untuk menyampaikan ajaran moral dan etika kepada generasi muda. Contohnya, pupuh sering mengajarkan nilai kesopanan, kerja keras, dan tanggung jawab.

Sarana Hiburan

Dalam seni pertunjukan tradisional seperti wayang golek atau tembang Sunda, pupuh menjadi bagian yang dinyanyikan oleh dalang atau sinden. Alunan pupuh yang indah dan penuh makna membuatnya menjadi hiburan yang sekaligus mendidik.

Ritual dan Tradisi

Pupuh sering dinyanyikan dalam berbagai acara adat, seperti pernikahan, khitanan, atau upacara panen. Pupuh juga digunakan dalam doa atau mantra yang memiliki makna spiritual.

Ekspresi Seni dan Keindahan

Pupuh adalah bentuk seni yang menggabungkan keindahan bahasa, irama, dan nyanyian. Seniman Sunda sering menciptakan pupuh baru untuk mengekspresikan perasaan atau pandangan mereka terhadap kehidupan.

Keunikan Pupuh

Multifungsi

Pupuh dapat disampaikan dalam bentuk nyanyian, puisi, atau tulisan, sehingga fleksibel digunakan dalam berbagai konteks.

Integrasi dengan Seni Musik

Pupuh sering diiringi alat musik tradisional, seperti kacapi, suling, atau kendang, yang memperkaya pengalaman mendengarnya.

Kekayaan Makna

Setiap jenis pupuh memiliki makna mendalam yang relevan dengan berbagai aspek kehidupan, seperti cinta, spiritualitas, dan perjuangan.

Final Thoughts

Pupuh masuk ke tanah Sunda melalui proses akulturasi budaya yang panjang, mulai dari tradisi lisan lokal, pengaruh Hindu-Buddha, hingga integrasi nilai-nilai Islam. Keberadaannya tidak hanya sebagai bentuk seni, tetapi juga sebagai media pendidikan, ekspresi budaya, dan warisan nilai-nilai luhur masyarakat Sunda. Dengan semua keindahan dan kekayaannya, pupuh adalah salah satu warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan.

Komentar